Minggu, 19 Juli 2009

Terulang Lagi

APA pun alasannya, peledakan bom di JW Marriott dan Ritz Carlton kemarin adalah aksi yang penuh kekejian. Bahkan, aksi itu bisa dikatakan telah menyimpang dari ajaran teologis dan humanistis. Tidak ada satu ajaran agama yang menganjurkan umatnya membunuh orang lain demi kepentingan apa pun.

Hanya mereka yang tidak punya hati nuranilah yang dengan senang hati membunuh orang lain dengan cara meledakkan bom. Jika mereka punya hati dan rasa kemanusiaan yang tinggi, segala persoalan hidup yang menimpa akan diselesaikan dengan jalan yang beradab dan bijaksana.

Kita bisa becermin kepada kisah Nabi Muhammad SAW. Dulu, beliau pernah diludahi dan dicaci maki orang Qurais yang benci kepada ajaran Islam. Setiap hari kejadian seperti itu dialami Nabi Muhammad dengan penuh sabar. Pada suatu hari, orang tersebut tak lagi meludahi ketika nabi lewat di depan rumahnya. Nabi pun merasa heran; kenapa orang itu tak meludahiku lagi?

Usut punya usut, ternyata sang peludah nabi itu sedang sakit demam sehingga tak mampu lagi melakukan ”hinaan” kepada sang nabi. Di dalam kondisi inilah, Nabi Muhammad pergi ke rumah si peludah tadi dengan tujuan menjenguknya. Dibawakanlah sepotong roti dan tiga buah kurma untuk sang peludah tersebut. Setelah itu, nabi pun mendoakan agar dia cepat sembuh. Melihat hal tersebut, sang peludah pun menangis dan meminta maaf kepada Nabi Muhammad.

***

Makna yang terkandung di balik kisah itu adalah ternyata cara-cara damai lebih menggugah hati orang lain yang hendak mencelakakan kita. Dengan cara itulah, kedamaian antarumat manusia bisa terpelihara. Dengan jalan yang arif itu pulalah, egoisme sosial bisa diredam. Tapi, berapa banyak orang yang mampu dan mau mengamalkannya?

Di tengah modernisasi dan kapitalisasi seperti sekarang ini, manusia dihadapkan kepada suatu persoalan sosial, budaya, dan ekonomi yang pelik. Kearifan lokal yang mengajarkan kepada kita untuk bersabar, hidup santun dan damai, serta menghargai keberadaan orang lain mulai krisis. Nilai-nilai sosial seperti itu mulai tergerus oleh budaya instan dan egoisme personal.

Mereka lebih senang menempuh jalan pintas demi mencapai keinginan. Tak peduli dengan hukum dan hakikat humanitas yang ada, yang penting, keinginan tersebut bisa terlaksana dengan sebaik-baiknya. Doktrin keabadian dan kejayaan pun dikukuhkan demi memacu spirit mereka. Dan ini diwariskan lintas generasi sehingga terciptalah budaya asal gue menang, asal gue senang.

Moralitas kolektivitas sosial pun menjadi rapuh karena krisisnya tingkat kepercayaan di antara sesama. Upaya gotong royong dan tepo seliro justru semakin terpolarisasi ke dalam kelompok sosial tertentu. Akibatnya, yang terjadi adalah sebuah kompetisi indoktrinasi. Mereka yang beda nilai dan keyakinan agama dianggap sebagai musuh bersama. Mereka yang beda aliran politik dianggap sebagai lawan yang harus disingkirkan.

Krisis legitimasi sosial itu tak luput dari kuasa uang. Uang yang seharusnya bisa dijadikan alat pencipta kemakmuran manusia di berbagai strata sosial justru telah menjadi alat eksploitasi dan ketimpangan ekonomis. Mereka yang kaya mulai enggan berbagi dengan yang miskin. Sementara yang miskin ingin memiliki uang untuk kebutuhan hidupnya tanpa kerja keras. Maka, terciptalah dualitas kebudayaan.

Di satu sisi, ada kalangan masyarakat yang memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang tinggi. Mereka inilah yang tergolong para kaum terdidik dan mapan secara ekonomis. Apa pun yang mereka lakukan selalu berpegangan kepada rasionalitas.

Hanya, kekurangan mereka adalah pada level kecerdasan sosial (kecerdasan sosiologis). Akibatnya, kehidupan di dunia ini mereka ukur dengan prinsip bisnis. Mereka akan memiliki kesamaan perasaan apabila di sana ada keuntungan ekonomis yang bisa didapatkan secara pantas.

Di sisi lain, ada kalangan masyarakat yang minim intelektualitas, namun kuat dalam hal religiusitas. Mereka biasanya termasuk orang yang sabar menghadapi pahitnya hidup. Meski dalam keadaan miskin, mereka tetap sepenuhnya khusyuk kepada Sang Pencipta. Mereka juga tetap bersikap hormat kepada siapa pun yang ada di strata atasnya.

Hanya, mereka mudah terpengaruh provokasi seseorang yang hendak memanfaatkannya. Dengan alasan ibadah dan jaminan ekonomis, kalangan kelas bawah tersebut sangat mudah mengikuti doktrin orang lain yang dianggap ‘’suci” dan terdidik. Untuk memperkuat semangat mereka, maka perintah melakukan tindakan yang ‘’sesat” itu diatasnamakan perjuangan identitas kaum marginal. Sungguh menggelikan sekaligus menyakitkan.

***

Kekuatan politik seharusnya menjadikan bangsa ini sejahtera. Namun, masih banyak dana dan proyek pembangunan untuk rakyat yang dikorup hingga miliaran rupiah oleh para politisi kita. Akibatnya, kehidupan rakyat yang sengsara tidak pernah diselesaikan secara tuntas.

Hukum adalah salah satu saluran efektif untuk membendung perilaku korup seperti itu. Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Hukum di negeri ini seakan-akan menjadi dagelan. Mereka yang terpidana kasus korupsi bisa dengan mudah bebas dari jeratan hukum yang berat. Sebaliknya, anak kecil yang hanya bermain judi di terminal dengan mudahnya dijebloskan ke sel tahanan tanpa ada belas kasihan.

Peledakan bom di negeri kita yang kini tengah terjadi, tampaknya, merupakan akumulasi dari protes segelintir orang yang ingin diperhatikan kehidupan dan hak-haknya sebagai warga negara. Inilah efek dualitas kebudayaan yang makin hari makin kental di negeri kita.

Tetapi, cara yang mereka lakukan tidak menunjukkan sikap kesatria dan bermartabat. Sebab, yang mereka lakukan itu melukai dan membunuh orang lain yang tidak berdosa. Dikutip dari Atik Catur Budiarti , Pengajar Sosioantropologi UNS, Solo